Letak Geografis

Secara geografis Negara Syiria terletak di Timur laut Tengah, sebelah Barat bagian Asia yang berada di antara Garis lintang Selatan 32 derajat, 37  garis lintang Utara, dan berada di antara garis lintang 36, 42 derajat bagian Timur. Berada di permukaan laut bagian barat Syiria sebelah gunung Ansyariyah yang tinggi di sebelah Timur barat. Kira-kira mencapai ketinggian 1300 M, dan terdapat juga daerah gunung berapi (volcano) yang berada di sebelah Huraan dan gunung Daruuz di sebelah Selatan. Banyak juga padang pasir al-Jabariyah yang berada di sekitar Syiria. Panjang negara Syiria dengan Laut Tengah kira-kira mencapai jarak 150 km. Setelah Turki menguasai Teluk Iskandarunah dengan bantuan Inggris dan Perancis.

Di sana juga terdapat gunung Harmun (al-Sekh) yang memanjang  sampai ke gunung libanon, ketinggianya mencapai 300 M, dengan ketinggian gunung tersebut menjadi tempat sumber air. Dari ujung Selatan Syiria terdapat ketinggian gunung al-Daruuz, terdapat atsar-atsar volcano yang dahulu pernah terjadi letusan, sedangkan ketinggian mencapai 200 M.

Sebenarnya kalau kita perhatikan perjalanan sejarah negara Syiria dari mulai Pra-Sejarah sampai sekarang ini, menjadi sangat unik untuk kita perhatikan dan kita kaji. Karena di sana menyimpan berbagai peninggalan sejarah pada masa silam. Sebelum kita memasuki kepada penjelasan yang lebih detail, pertama kita harus mengetahui bagaimana Syiria  pada masa Pr-Sejarah atau sebelum Masehi?. Kedua; bagaimana kita mengetahui Syiria pada masa Masehi?.

Nama Syiria  pada masa dahulu di sebut bagian pinggiran Timur laut Tengah yang menjulang dari gunung Thuruus sampai Sina. Ada juga yang menyebut Syiria dengan nama Syam, dan orang-orang Eropa menyebutnya dengan nama Lipant. Akan tetapi daerah ini dalam sepanjang sejarah belum pernah terbagi-bagi. Bahkan perbatasan daerah Syiria dengan perbatasan Merah belum pernah di kenal pada abad 19.

Peradaban Syiria SM (Sebelum Masehi)

Masa Pra-Sejarah sebenarnya sudah tidak asing lagi di telinga kita, bahkan semenjak kita SD, dan seterusnya kita akan mengenal dengan nama atau istilah masa batu dan masa-masa yang linnya. Akan tetapi penulis bukan tidak ingin untuk membahas tentang masalah Pra-Sejarah secara mendetail yang bukan menjadi pembahsan kita. Hanya untuk memulai sesuatu sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu sejarah-sejarah sebelumnya. Di sini penulis ingin mengajak kepada anda untuk mengetahui zaman Pra-Sejarah nya negara yang menjadi kajian kita ini.

Negara Syiria pada zaman Pra-Sejarah, disebut Negara Syam. Karena menurut sejarah yang menceritakan negara Syiria termasuk dalam bagian negara Syam. Untuk mengetahui lebih jauh tentang negara Syiria ini, kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang Syiria pada masa Pra-Sejarah. Syiria pada masa Pra-Sejarah terbagi kepada beberapa bagian, di antaranya;

1.      Bangsa Al-Umuriyun

Al-Umuriyun yaitu; Bangsa Arab yang berada pada zaman dahulu yang merupakan keturunan bangsa Al –Kan’aniyun yang bertempat tinggal di negara Syiria pada tahun 2500 SM. Bangsa Al- Umuriyah  membuka negara-negara seperti Irak, dan mereka semua bertempat tinggal di sana. Sampai mereka mendirikan negara yang bernama Al-Babaliyah yang pertama kali. Dari Raja-raja yang termashur dalam bangsa Al-babaliyah ini, adalah Raja Hamurabi, yang kira-kira berada pada abad 166-177 SM. Bangsa Hamurabi  ini bercampur dengan dengan bangsa Al-Ramiyah pada abad ke-10 SM.

Sebagian Raja-raja mereka yang bertempat tinggal di negara Syam; di antaranya pertama; Negara al-Rifaiyah yang berada di Huraan, kedua; Negara Hisban yang terletak sekarang sekitar 25 km sebelah Utara bagian Barat dari negara Aman. Sedangkan yang di maksud dengan kalimat Umuruu Sumeriyah  adalah Barat—yaitu; Barat Irak.

2. Bangsa Al-Kan’aniyun

Al-Kan’aniyun adalah; bangsa Arab pada zaman dahulu kala, yang berhijrah dari daerah Teluk Arab dan bertempat tinggal di negara Syam. Yaitu; Negara Syiria, Libanon, dan negara Palestina. Keberadaan bangsa ini kira-kira pada abad ke-3 seratus tahun SM. Sedangkan keturunan mereka berada di negara Palestina. Di antara keturunan mereka yang tinggal di sana adalah; pertama;  Al-Yabasiyah yang berada di daerah al-Quds dan sekitarnya. Kedua; Al-Jarjasiyun yang bertempat tinggal di sebelah Barat dari Bahirah Thariya sampai al-Jalil dan al-Karmal. Ketiga; Al-Hawiyun, sedangkan mereka bertempat tinggal di Nables dan sekitarnya. Dan ada juga mereka bertempat tinggal di daerah Abi Ghusyi. Kempat; yaitu terakhir adalah bangsa Al-Amalighah  yang datang dari daerah Bi’r al-Sab’u dan sekitarnya.

3. Bangsa Al-Araamiyun

Al-Araamiyun juga merupakan bagian dari bangsa Arab pada masa lalu, mereka datang dari negara yang ada di antara dua sungai dan furat tengah berada pada abad ke-13 SM. Mereka sampai mendirikan kerajaan yang bernama kerajaan Hamaah pada abad ke-11 SM. Dan mendirikan kerajaan Tal Barsib pada abad ke-10 SM, serta mendirikan kerajaan Damaskus pada abad ke-9 SM.  Semua kerajaan ini jatuh di tangan Al-Asyuriyin pada tahun 734 SM. Sampai-sampai dampak dari bahasa Al-Aramiyah ini menyebar secara luas kenegara Irak, Iran, dan Syiria. Begitu juga bahasa orang-orang Palestina ketika datang Sayyid al-Masih menggunakan bahasa Al-Aramiyah. Bahkan sudah tertulis dari sebagian Asfar al-Taurat. Bahwa mereka menggunakan lahjah al-Suryaniyah, al-Kaldaniyah, dan lahjah ini juga di pergunakan di sebagian penduduk perkampungan Jabal al-Qalmun yang berada di negara Syiria sampai sekarang ini

4. Peradaban al-Kan’aniyun

Bangsa Al-Kan’aniyun hidup di “Negara Palestina” sejak tahun 2700 SM. Dan mereka mendirikan bangsa lain yang di sebut dengan bangsa al-Faniqyun yang bertempat tinggal di pinggir pantai Syiria dari kerajaan Ogariet yang ada di bawah kepimpinan Syamra, sampai pinggir pantai Palestina.

Pada tahun 1200 SM berhijrah Musa dan kaumnya ketanah Kan’an, yang belum ada kehidupan di sana sama sekali. Setelah Musa berhijrah di ikuti oleh “Yusa’ bin Nun”, sedangkan pada masa hijrahnya Yusa’ bin Nun di sana sudah ada kehidupan kecil-kecilan. Kehidupan ini di sebabkan karena adanya bangsa atau kaum Kan’aniyun terpecah-pecah.

Kira-kira 1000 Tahun SM,  Daud menjajah al-Quds dan sebagian daerah-daerah yang masih ada yang tinggal bangsa Al-Kan’aniyin yang masih tetap berada di muka bumi. Hal ini terjadi setelah Raja Sulaiman membagi Al-Ibraniyun menjadi dua bagian. Pertama; Al-Samirah, yang berada di sebelah Utara. Kelompok ini berada dalam kepemimpinan bangsa Al-Syuriyun di bawah pimpinan Sarjun al-Sani berada pada tahun 722 SM. Kedua;  adalah kelompok Yahuda yang berada di sebelah Selatan. Kelompok ini berada dalam kepemimpinan “Nabuu Hud Nasr” berada pada tahun 576 SM.

Sepanjang zaman bangsa Al-Kan’aniyun—dan Ahli Bilad—mereka itu berada negeri tersebut. Bahkan mereka tidak pernah meninggalkan negara itu, sampai mereka meninggalkan sejarah-sejarah terhadap Yahudi. Seperti penggunaan bahasa, peradaban, dan adat istiadatnya. bisa jadi bangsa Syiria asli adalah keturunan dari bangsa Al-Aramiyun. Yang sampai sekarang keturunanya terus menyebar keseluruh pelosok kota Damaskus dan sekitarnya.

 b. Negara Syiria Dalam Masa Peradaban Modern

Negara Syiria terlepas dari penjajahan pada bulan April 1946 M, sedangkan pelantikan menjadi negara Republik pada tahun 1941 M. Semua itu ada di bawah undang-undang militer sejak Maret 1949 M. Yaitu merupakan undang-undang multi partai, akan tetapi pada realitasnya hanya sebagai formalitas belaka. Pada tahun itu yang menguasai hanya satu partai yaitu; Parta al-Ba’syu yang mengatur dari segala lini kehidupan, walaupun di sana banyak partai, akan tetapi tidak berpungsi.

Syiria setelah mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan Perancis, pada tahun 1949 M, selama masa kemerdekaanya negara Syiria sudah mengalami tiga kali kudeta kekuasaan yang berturut-turut dalam jangka waktu satu tahun, kudeta ini di lakukan oleh pihak militer. Kudeta yang pertama; pada bulan Maret 1949 M, di bawah kepemimpinana Sami al-Hanawi yang memimpin kekuasaan Syiria. Kudeta yang kedua; di bawah kepemimpinan Hasan al-Zaim yang di bantu oleh negara Inggris yang terjadi pada bulan Agustus, ini juga tidak lama berkuasa. Kemudian terus terjadi kudeta yang ketiga; terjadi pada bulan September masih pada tahun yang sama, di bawah pimpinan  Adib Al-Syisyakli, sehingga sampai tahun 1971 M, merupakan silsilah kudeta yang di lakukan Militer.

Akan tetapi pada bulan Pebruari tahun 1954 M, terjadilah kudeta yang kempat yang di pimpim oleh Hasyim al-Aqhasi, pada saat itu kekuasaan berada di tangan Adib Al-Syisyakli. Pada bulan Januari tahun 1957 M terjadi kudeta yang kelima, berada di bawah kepemimpinan Syukri al-Quutli, yang pada saat itu sudah terjadi persatuan antara Mesir dan Syiria. Pada tanggal 28 September 1961 M, terjadi lagi kudeta yang keenam yang di lakukan oleh Tadzim al-Qudsi, yang memberhentikan orde Al-Quutli dan berakhirnya persatuan Mesir-Syiria. Pada tanggal 2 Maret 1966 M, di bawah pimpinan Shalah Gadid, mengadakan kudeta yang ketujuh. Kudeta ini berhasil merebut kekuasaannya Tadzim al-Qudsi. Pada masa perebutan kekuasan yang ketujuh berhasil menjadikan Nurdin al-Anaasi menjadi Presiden Syiria dan Shalah Gadid menjadi Perdana Mentri. Dalam masa pemerintahan Al-Anaasi mengalami banyak krisis pada masa pemerintahanya. Ada juga pada masa pemerintahanya golongan militer yang moderat yang dipimpin oleh  Hafidz al-Asad, sedangkan beliau pada masa itu menjabat sebagai Mentri pertahanan dan keamanan Syiria.

Dengan kegigihannya Hafidz al-Asad, beliau mulai ikut intervensi ketika Syiria akan menyerang Jordania. Sekaligus pada masa itu meminpin pemerintahan pada bulan November 1970 M. Dan membentuk Majlis Sya’ab serta menentukan Hafidz al-Asad sebagai Presiden Syiria pada 22 November 1971 M. Sampai terjadi adanya Referendum pada tanggal 18 Maret pada tahun yang sama. Kemudian Referendum itu di perbaharui pada tahun 1978 M, sampai tahun 1985 M. Pada tahun itu juga terjadi pengangkatan tiga wakil sekaligus. Sedangkan yang di angkat adalah saudaranya sendiri yaitu; Rif’at al-Asad, Abdul Halim Khadam, dan Muhammad Zuhair Musyrikah.

Bisa kita melihat perubahan-perubahan undang-undang yang ada di Negara Syiria dari mulai periode 1949-1985 M peraturanya berhubungan dengan permasalahan Khilafah. Di antaranya kita bisa melihat. Periode pertama; mulai tahun 1949M-1963 M, kita bisa menyaksikan adanya perubahan undang-undang yang di lakukan dengan gerakan kudeta militer bersamaan dengan adanya Parlemen. Periode kedua; pada tahun 1963 M peraturan atau undang-undang militer di rubah menjadi sistem parlemen karena adanya kudeta yang terus berlangsung hingga sampai tahun 1971 M. Sehingga di awalinya periode yang ketiga;  Persatuan militer serta menjauhkan dari kudeta-kudeta politik yang selalu di lakukan oleh Militer.

c. Syiria Hubungan Antar Negara

Negara Syiri sebagaimana kita perhatikan dari muai masa Pra-Sejarah sampai saat ini. Sungguh telah mengalami peroses pendewasaan menuju kearah yang lebih baik. Bagaiman kita bisa melihat Syiria dari mulai pemerintahan Hafidz al-Asad sudah mulai mengadakan diplomasi dengan negara lain, terutama dengan negara-negara Arab, seperti Mesir, Libanon dan yang lainya.

Sebenarnya kalau kita melihat sejarah, bahwa Hafidz al-Asad dengan Rafiq Hariri perdana mentri Libanon mempunyai hubungan yang erat secara pribadi dan secara pemerintahan antara Syiria dan Libanon. Pada Mu’tamar yang di adakan di Riyad tahun 1972 M, dan Mu’tamar Kairo menyepakati bahwa Syiria boleh masuk ke negara Libanon dengan adanya dua aturan. Pertama; Syiria harus menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan Bangsa, dan rakyat Libanon. Kedua; Menjaga perlawanan orang-orang Palestina serta pembebasan Palestina dari penjajahan Israel.Sedangkan hubungan Mesir dan Syiria terputus ketika adanya penjajah Israel menyerang Mesir.

d. Masa Depan Syiria

Semenjak pemerintahan di pimpin oleh Hafidz al-Asad, negara Syiria mengalami perubahan-perubahan dalam tataran sistem dan politik. Misalnya saja; adanya perubahan undang-undang militer yang di mana perpindahan kekuasaan dari yang satu ke yang lain dengan cara adanya kudeta. Akan tetapi setelah mengalami perubahan tidak lagi terjadi kudeta.

Dengan perkembangan waktu, Hafidz al-Asad tidak mungkin untuk terus duduk dalam pemerintahan dan terus selamanya menjadi Presiden. Sedangkan pada masa itu, sedang terjadi adanya perlawanan antara Syiria dan Israel. Akan tetapi Hafidz al-Asad ada dalam keadaan sakit, maka tambuk pemerintahan di bawah pimpinan saudaranya Rif’at al-Asad, dia mengadakan angkat senjata dan menguasai pemerintahan untuk sementara. Akan tetapi itu tidak terjadi begitu lama. Dalam masa-masa sembuh kesehatanya Hafidz al-Asad berpikir bahwa saudaranya ingin mendapatkan warisan tahta pemerintahannya untuk menjadi Presiden. Sementara hafidz al-Asad berpikir tahta kepresidenan akan di turunkan kepada anaknya Basyal al-Asad. Namun  keinginanya itu tidak berhasil, karena anaknya yang pertama Basyal al-Asad meninggal dalam satu kecelakan, ketika beliau mengendarai mobil dari Damaskus menuju bandara al-Mazah.

Dengan keadaan itu Hafidz al-Asad merasa sakit dengan meninggal anaknya dan keadaan negara sedang ada dalam keadaan krisis. Bagaimana tidak karena anaknya Basyal al-Asad yang ketika itu menjabat sebagai Kapten angkatan Militer akan calonkan menjadi Presiden Syiria setelah beliau, akan tetapi semua itu tidak terjadi. Tetapi karena Hafidz al-Asad ingin mewariskan tahta kepresidenan kepada keluarganya, dengan terpkasa dia memanggil anaknya yang kedua Basyar al-Asad yang sedang belajar di Inggris untuk pulang mejadi calon Presiden Syiria. Padahal Basyar ketika itu bercita-cita menjadi dokter. Cita-cita hanya tinggal cita-cita, terpaksa beliau harus pulang untuk meneruskan tambuk kekuasaan ayahnya. Pada saat beliau di angkat menjadi Presiden dengan segera harus menandatangani kesepakatan damai antara Syiria dan Israel.

Sejarah Republik Iran

Posted: June 9, 2012 in Sejarah

Republik Irak dengan nama lokal Al Jumhuriyah al Iraqiyah, dan disingkat Al Iraq, adalah sebuah Negara yang terdapat di Benua Asia bagian barat atau dikenal dengan nama Timur Tengah. Secara geografis Negara ini berbataskan dengan Kuwait dan aran Saudi di sebelah selatan, Yordania di barat, Suriah di barat laut, Turki di utara. Dan Iran di timur.

Bahasa resmi yang digunakan adalah Bahasa arab dan bahasa Kurdi. Irak dihuni beberapa etinis sperti, Arab 75-80%, kurdi 15-20%, Turkoman, Assyiria serta lainnya 5%, dan 97% masyarakat Irak beragama Islam serta terdapat dua Aliran agama islam, Syiah dan sunni.

Sejarah Kuno

Secara historis irak dikenal sebagai Mesopotamia, yang secara harfiah berarti diantara sungai-sungai, dalam bahasa Yunani. Tanah ini menjadi tempat kelahiran peradaban pertama di dunia. Pada perkembangan peradaban di irak dikenal budaya Sumeria, diikuti dengan budaya Akkadia, Babilonia, dan Asyur dan kemudian pengaruhnya meluas kedaerah-daerah tetangganya sejak sekitar 5000 SM. Peradaban-peradaban ini menghasilkan tulisan tertua dan sebagian dari ilmu pengetahuan, matematika, hokum, dan filsafat yang pertama di dunia, hingga menjadikan wilayah ini  sebagai pusat dari apa yang dikenal sebagai “ Buaian Peradaban”.

Pada abad ke-6 SM, wilayah ini menjadi bagian dari kekaisaran Persia dibawah kekuasaan Koresy Agung selama hamper 4 abad, sebelum ditaklukkan oleh Alexander Agung dan berada dibawah kekuasaan Yunani selama kurang lebih 2 abad. Kemudian sebuah suku bangsa iran dari asia tengah yang bernama Parthia merebut wilayah ini. Diikuti dengan Dinasti Sassanid Persia selama 9 abad. Hingga abad ke-7.

Irak sebelum Islam
Irak terkenal sebagai tempat lahirnya peradaban. Lebih dari sepuluh ribu situs arkeologi bernilai tinggi terdapat di sini. Sejarah Irak dimulai pada zaman paleolitik yang hidup di dataran Mesopotamia, sekitar seribu abad yang lalu. Dataran subur ini diapit sungai Tigris dan sungai Eufrat, atau lebih dikenal dengan sebutan “Bulan sabit yang subur”.
Pada tahun 4800 SM ditemukan tanda-tanda kebaradaan bangsa Sumeria di kawasan al-Ubaid. Dan pada tahun 2371 SM kelompok Akkodians mendirikan kerajaan yang dapat mempersatukan bangsa Sumeria.

Tahun 1894 SM kelompok Amorites mendirikan dinasti Babylonia. Salah satu yang menjadi penguasanya adalah Hammurabi (1792-1750 SM). Dialah yang pertama kali membuat aturan hukum negara di dunia. Setelah berjalan bertahun-tahun terjadi konflik antar saudara yang berakhir dengan hancurnya dinasti Babylonia. Kemudian muncul Babylonia baru. Diantara rajanya yang terkenal adalah Nebuchardnezzar II yang membangun “Taman Gantung” yang bertingkat-tingkat dengan ketinggian tiap lapisan kurang lebih 350 kaki.

Irak setelah Islam masuk
Agama Islam dan bangsa Arab masuk ke wilayah Irak pada masa Khilafah Umar bin Khottob tahun 637 M. Merekalah yang menyebut wilayah ini Irak. Kholifah kemudian mendirikan dua kota penting, yaitu Kuffah dan Bashroh.

Tahun 750 M dinasti Abbasiyah menguasai Irak. Putranya, al-Mansur menemukan sebuah kota kecil yang dinamakan Baghdad yang ia juluki “Madinatus Salam (Kota Perdamaian). Baghdad didirikan pada tahun 762, menjadi ibu kota kekhalifahan Abbasiah oleh Abu Jafar al-Mansur, yang dikenal sebagai orator dan administrator ulung serta pakar bahasa. Sejak saat itu, kota yang terletak di tepi barat Sungai Tigris tersebut seakan mewarisi kejayaan kerajaan-kerajaan besar di Mesopotamia. Sejarah menceritakan, Baghdad menjadi pusat perdagangan, budaya, dan kota pelajar yang penting. Bahkan, Baghdad juga pernah dianggap sebagai pusat intelektual dunia, pusat kekuatan dunia. Di kota itulah dahulu kebudayaan Arab dan Persia bercampur dan menghasilkan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan karya-karya sastra yang adiluhung. Apa yang sudah diletakkan Al-Mansur terus dikembangkan oleh para penerusnya. Di tangan Harun ar-Rashid (786-806), cucu Al-Mansur, Baghdad kian bersinar dan menjadi kota terbesar kedua di dunia setelah Konstantinopel. Adalah Harun ar-Rashid pula yang memerintahkan pembangunan kanal-kanal kota, tanggul, dan tempat-tempat penampungan air. Ia juga memerintahkan agar rawa-rawa sekitar Baghdad dikeringkan sehingga tidak menjadi sarang nyamuk.

Di zaman Harun ar-Rashid—yang dikenal sebagai “Khalifah yang tidak pernah tidur” karena selalu keliling negerinya di malam hari untuk bertemu dan mendengarkan apa keinginan rakyatnya, kaum intelektual mendapat tempat terhormat. Seni sastra juga berkembang pesat. Di kala itu lahirlah cerita Seribu Satu Malam dan muncul tokoh cerita Aladdin, Ali Baba, dan Sinbad “Si Pelaut”.

Kebudayaan Arab berkembang demikian pesat di zaman Al-Ma’mun (813-833), putra Harun ar-Rashid. Di zaman khalifah inilah dilakukan penerjemahan karya-karya para penulis Yunani. Al-Ma’mun juga mendirikan Darul Hikmah yang mengambil alih peran Universitas Jundaisapur Persia. Segera setelah akademi itu didirikan, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan. Perpustakaan di akademi tersebut diperkaya dengan buku-buku terjemahan dari pelbagai bahasa. Para sarjana dari berbagai bangsa dan agama diundang untuk bekerja di akademi tersebut.

Direktur pertama akademi itu adalah Hunain ibn Ishaq yang menerjemahkan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani. Bahkan, mereka juga menerjemahkan Kitab Suci Perjanjian Lama dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Di zaman itu pula para sarjana di bawah pimpinan Hunain ibn Ishaq melahirkan karya besar, yakni di bidang matematika terutama kalkulus integral. Pakar matematika terkemuka kala itu adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (680-750). Dialah yang menemukan persamaan aljabar dan angka nol. Al-Khawarizmi menulis 10 buku pelajaran matematika. Ia juga menulis buku pelajaran aritmatika yang memperkenalkan angka-angka Hindu ke dunia Arab. Buku-buku itu pula yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan kemudian berkembang di daratan Eropa.

Baghdad benar-benar tumbuh menjadi kota budaya, kota pelajar, dan kota damai. Berbagai ilmu pengetahuan maju pesat. Al-Makmun pernah mengirim rombongan penerjemah ke Konstantinopel, Roma dan sebagainya untuk menghimpun buku-buku sains dan filsafat yang belum ada dalam Islam untuk kemudian dibawa ke Baghdad. Rombongan ekspedisi ini terdiri atas Abu Yahya ibnu Bathriq (w. 815 M), Muhammad ibnu Salam (w. 839 M), Hajja ibnu Yusuf ibnu Mathar (w. 833 M), dan Hunain ibnu Ishaq (w. 874 M). Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil (847-861 M), seorang ahli matematika dari Sabia, Tsabit Ibnu Qurrah (w. 901 M) dan murid-muridnya menerjemahkan karya-karya Yunani terutama bidang geometri, dan astronomi, termasuk juga karya-karya juga karya-karya Aristoteles, Plato, Apollonius, Galen, Archimedes, Hyppocrates, Ptolemus, Euclid, dan Pythagoras dalam bahasa Arab. Melalui kegiatan penerjemahan inilah terjadi gelombang helenisme I dalam Islam yang kemudian mendorong berkembangnya filsafat dalam Islam. Munculnya para filosof dalam Islam seperti al-Kindi (w. 870 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibnu Sina (w. 1037 M) tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan tersebut. Mereka tidak sekadar membaca dan menerjemahkan karya-karya dari Yunani, tapi juga memberi ulasan, komentar, elaborasi, dan seterusnya. Tentu saja mereka juga mendialogkan antara pemikiran filsafat Yunani dengan segi-segi ajaran Islam. Atas dasar itu, tidak mengherankan jika beberapa segi pemikiran filsafat dalam Islam sangat nampak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.

Studi kedokteran juga maju dan kemudian mendorong didirikannya rumah sakit-rumah sakit di Baghdad. Sejarah mencatat, ketika itu penduduk Baghdad mencapai satu juta orang. Wilayah kekuasaan Bani Abbasiah pun membentang dari Cina bagian barat hingga Afrika bagian utara. Pada abad ke-13, di masa pemerintahan khalifah Abbasiah ke-37, Al-Mustansir Billah, didirikanlah universitas. Roda sejarah terus berputar dan kebesaran Bani Abbasiah pun mulai pudar, antara lain karena persoalan di dalam. Selain itu, juga banyak tokoh kondangnya meninggal. Salah satu tokoh terkemuka di akhir masa Abbasiah adalah Abu Hamid al-Ghazali, seorang profesor Al-Madrasa Al-Nizamiya, sekolah hukum agama terbesar pertama di Baghdad yang didirikan pada tahun 1067. Pusat kaum intelektual pun lantas pindah ke Cairo, Mesir, dan Cordoba serta Toledo, Spanyol. Dari wilayah Spanyol inilah karya-karya besar para ilmuwan dan pemikir Muslim masuk dan meresap ke Eropa.

Tahun demi tahun Irak dipimpin oleh satu Khalifah hingga datang bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan tahun 1258 M dan menaklukkan negeri ini. Kota dihancurkan. Menurut cerita, ratusan ribu orang dibantai pasukan Mongol dan sungai darah mengalir di jalan-jalan, sementara lembah-lembah penuh jenazah. Hulagu membangun piramida tengkorak para ilmuwan, pemimpin agama, dan penyair Baghdad. Kemudian dilanjutkan oleh Timur Leng yang menghancurkan Baghdad pada tahun 1401 M. Terjadilah perebutan kekuasaan yang menghantarkan Irak ke tangan kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah (1514-1918 M). Dan akibat dari perjanjian damai perang dunia I, Irak diperintah dan dijajah Inggris.

Irak dibawah kolonial Inggris
Tahun 1914 M Inggris mulai menjajah Irak. Kemudian diumumkanlah Irak menjadi negara kerajaan pada tahun 1921 M. Jelang sebelas tahun kemudian, yaitu tahun 1932 M, Irak merdeka walaupun masih dibawah kendali Inggris hingga tahun 1958 M. Pada tahun ini kerajaan Irak digulingkan dan berdirilah negara republik. Antara tahun 1958-1968 M banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan kekuasaan berada di tangan militer. Kemudian pada tahun 1968 terjadi revolusi besar yang sangat bersejarah di Irak yang membawa partai Ba’ats pada tampuk kekuasaan.

Irak pasca revolusi
Tertanggal 17 juli 1968 Irak memasuki babak baru dalam sistem kenegaraan. Pada tanggal ini terjadi revolusi di Irak yang menumbangkan rezim presiden Abdurrahman Arif dan diganti oleh Ahmad Hasan Bakar sebagai presiden dan Saddam Hussen sebagai wakilnya. Revolusi ini dilaksanakan oleh Ibrahim Abdurrahman Daud, pemimpin pasukan garda republik ketika itu dan Abdurrazak Naif, direktur intelejen Irak masa itu. Naif dijadikan Perdana Menteri dan Daud dijadikan Menteri Pertahanan. Akan tetapi keduanya adalah mata-mata yang bekerja untuk CIA, dinas intelejen AS. Daud mengatakan bahwa revolusi ini adalah atas perintah dari CIA yang bertujuan untuk manjaga keberlangsungan keamanan Israel di Timur Tengah. Setelah diketahui bahwa keduanya adalah mata-mata CIA, maka pada tanggal 30 juli 1968 atau tiga belas hari setelah revolusi tersebut, mereka diusir dari Irak.

Pada tahun 1970 keluar keputusan untuk menghukum mati Abdul Ghoni ar-Rowy, mantan wakil Perdana Menteri Irak pada masa Abdurrahman Arif dan salah seorang jendral yang ingin menumbangkan pemerintahan Bakar dan Saddam pada awal-awal pemerintahannya yang bekerja sama dengan pemerintahan Iran ketika itu. Maka keluarlah keputusan hukuman mati itu dimana Rowy sendiri berada di Iran ketika keputusan diambil.

Saddam Hussen menjadi orang nomor satu di Irak pada tahun 1979. Sejarah perpolitikannya selalu diwarnai dengan darah selama itu dianggap perlu dalam melanggengkan kekuasaannya. Diantara bukti nyatanya adalah perang yang terjadi antara Irak dan Iran selama kurun waktu delapan tahun (1980-1988). Dua tahun setelah itu Irak kemudian menjajah Kuwait (1990) yang berakibat terjadinya perang teluk antara Irak dan pasukan sekutu pimpinan AS.

Ini salah satu contoh nyata perpolitikan luar negeri Irak yang diwarnai dengan darah. Begitupun perpolitikan dalam negerinya yang baru terkuak pada akhir-akhir ini, dimana ditemukan kuburan-kuburan masal korban politik penentang Saddam. Keputusan hukuman mati terhadap Rowy dapat pula di jadikan sampel.

Akan tetapi tidak semua kelakuan Saddam bernilai negatif. Banyak kemajuan-kemajuan yang didapat pada pemerintahan Saddam, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, pertanian, transportasi, dan demokrasi.

Irak pasca perang teluk
Secara langsung perang teluk berdampak pada penderitaan rakyat Irak yang tidak berdosa. AS, melalui tangan PBB mengembargo Irak secara menyeluruh selama kurang lebih enam tahun (1990-1996). Kemudian embargo ini diperingan dengan disetujuinya program “Minyak untuk pangan”, dimana Irak boleh menjual hasil minyaknya sejumlah enam milyar dollar selama enam bulan dan dibelikan bahan makanan. Program ini pun belum dapat mengangkat beban rakyat Irak yang sangat menderita sehingga beberapa negara di dunia mengusulkan untuk mencabut embargo PBB atas Irak. Akan tetapi, AS yang tidak ingin Irak keluar dari hegemoninya selalu membuat alasan yang mengada-ada demi keberlangsungan embargo tersebut.

Diantara alasannya adalah kepemilikan Irak akan senjata pemusnah masal, dimana sampai saat ini belum terbukti bahwa Irak mempunyai senjata tersebut. Malahan AS dengan beraninya mengeluarkan surat keterangan palsu yang mengabarkan bahwa disana terdapat perjanjian antara Irak dan Nigeria tentang pembelian uranium, bahan pembuat nuklir.

Dampak korban perang teluk ini begitu menyedihkan. Jutaan bocah tewas karena epidensi kangker darah serta beragam penyakit lain yang belum dikenal. Setelah diteliti bahwa semuanya ini berujung pada penggunaan depleted uranium sebagai sumber radiasi. Rupanya serangan-serangan pasukan sekutu mengandung unsur-unsur bom nuklir. Hal ini diakui menhan Inggris dan dari dokumen dephan AS.(untuk lebih lengkapnya tentang korban perang teluk baca Izzah edisi 14, Maret 2003).

Irak pasca Saddam tumbang
Akhirnya tamat riwayat perpolitikan Saddam di Irak. Tepat hari Rabu, 9 April 2003 Baghdad resmi jatuh ke tangan Hulagu “Bush” Khan abad 21. Banyak kesamaan antara dua manusia ini. Dilihat dari tarikhnya, jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H terjadi pada bulan Muharram. Begitu pun pada bulan Maret-April lalu, peran Amerika-Irak bermula sejak bulan Muharram juga. Dilihat dari cara penghancurannya tidak jauh berbeda antara keduanya. Begitu pun tentang kejatuhan keduanya, yang dimulai dari pengkhianatan anak buahnya.

Akan tetapi meskipun Irak telah jatuh, masih ada harapan-harapan yang tersirat dari perlawanan-perlawanan rakyat Irak. Jatuh korban dari pihak AS begitu membuat Bush kalang kabut. Dan ini akan menjadikan citra perpolitikan Bush di mata parlemen AS semakin jelek.

Sastra Dalam Peradaban Islam

Posted: June 7, 2012 in Budaya

Sastra dalam bahasa Inggris dikenal sebagai literature. Menurut Oxford English Dictionary, sastra berasal dari kata ‘littera’ yang artinya tulisan yang bersifat pribadi. Sedangkan dalam bahasa Arab, sastra disebut adab yang berasal dari sebuah kata yang berarti ‘mengajak seseorang untuk makan’ dan menyiratkan kesopanan, budaya, dan pengayaan.

Sastra menempati posisi yang terbilang penting dalam sejarah peradaban Islam. Sejarah sastra Islam dan sastra Islami tak lepas dari perkembangan sastra Arab. Sebab, bahasa Arab merupakan bahasa suci Islam dan Alquran. Bahasa Arab dalam bentuk klasiknya atau bentuk Qurani mampu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik dan bentuk formal lainnya. Sastra Arab atau Al- Adab Al-Arabi tampil dalam beragam bentuk prosa, fiksi, drama, dan puisi.

Lalu bagaimanakah dunia sastra berkembang dalam peradaban masyarakat Islam? Sejatinya sastra Arab mulai berkembang sejak abad ke-6 M, yakni ketika masyarakat Arab masih berada dalam peradaban jahiliyah. Namun, karya sastra tertulis yang tumbuh era itu jumlahnya masih tak terlalu banyak. Paling tidak, ada dua karya sastra penting yang terkemuka yang ditulis sastrawan Arab di era pra-Islam. Keduanya adalah Mu’allaqat dan Mufaddaliyat.

Orang pertama yang mengenalkan dunia Barat dengan sastra Arab jahili adalah William Jones (1746 M -1794 M), dengan bukunya Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex atau penjelasan Mu’allaqaat As-Sab’a yang diterbitkan tahun 1774 M. Sastra Arab jahili memiliki ciri-ciri yang umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri sendiri (suku), keturunan, dan cara hidup.

Sastra Arab memasuki babak baru sejak agama Islam diturunkan di Jazirah Arab yang ajarannya disampaikan melalui Alquran. Kitab suci umat Islam itu telah memberi pengaruh yang amat besar dan signifikan terhadap bahasa Arab. Bahkan, Alquran tak hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.

Bahasa yang digunakan dalam Alquran disebut bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat dikagumi dan dihormati. Alquran merupakan firman Allah SWT yang sangat luar biasa. Terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat, Alquran berisi tentang perintah, larangan, kisah, dan cerita perumpamaan itu begitu memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan sastra Arab.

Sebagian orang menyebut Alquran sebagai karya sastra terbesar. Namun, sebagian kalangan tak mendudukan Alquran sebagai karya sastra, karena merupakan firman Allah SWT yang tak bisa disamakan dengan karya manusia. Teks penting lainnya dalam agama Islam adalah hadits atau sunnah.

Penelitian serta penelusuran terhadap masa-masa kehidupan Nabi Muhammad SAW telah memicu para sarjana Muslim untuk mempelajari bahasa Arab. Atas dasar pertimbangan itu pula, para intelektual Muslim mengumpulkan kembali puisi-puisi pra-Islam. Hal itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kehidupan Rasulullah sampai akhirnya menerima wahyu dan menjadi Rasul.

Jejak dan perjalanan hidup Muhammad SAW yang begitu memukau juga telah mendorong para penulis Muslim untuk mengabadikannya dalam sebuah biografi yang dikenal sebagai Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Sarjana Muslim yang pertama kali menulis sejarah hidup Nabi Muhammad adalah Wahab bin Munabbih. Namun, Al-Sirah Al-Nabawiyyah yang paling populer ditulis oleh Muhammad bin Ishaq.

Studi bahasa Arab pertama kali sebenarnya telah dilakukan sejak era Kekhalifahan Ali RA. Hal itu dilakukan setelah khalifah melakukan kesalahan saat membaca Alquran. Dia lalu meminta Abu Al-Aswad Al- Du’ali untuk menyusun tata bahasa (gramar) bahasa Arab. Khalil bin Ahmad lalu menulis Kitab al- Ayn – kamus pertama bahasa Arab. Sibawaih merupakan sarjana Muslim yang menulis tata bahasa Arab yang sangat populer yang berjudul al-Kitab.

Sejarah mencatat, sastra sangat berkembang pesat di era keemasan Islam. Di masa kekhalifahan Islam berjaya, sastra mendapat perhatian yang amat besar dari para penguasa Muslim. Tak heran, bila di zaman itu muncul sastrawan Islam yang terkemuka dan berpengaruh. Di era kekuasaan Dinasti Umayyah (661 M – 750 M), gaya hidup orang Arab yang berpindah-pindah mulai berubah menjadi budaya hidup menetap dan bergaya kota.

Pada era itu, masyarakat Muslim sudah gemar membacakan puisi dengan diiringi musik. Pada zaman itu, puisi masih sederhana. Puisi Arab yang kompleks dan panjang disederhanakan menjadi lebih pendek dan dapat disesuaikan dengan musik. Sehingga puisi dan musik pada masa itu seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Sastra makin berkilau dan tumbuh menjadi primadona di era kekuasaan Daulah Abbasiyah – yang berkuasa di Baghdad pada abad ke-8 M. Masa keemasan kebudayaan Islam serta perniagaan terjadi pada saat Khalifah Harun Ar-Rasyid dan puteranya Al-Ma’mun berkuasa. Pada era itu, prosa Arab mulai menempati tempat yang terhormat dan berdampingan dengan puisi. Puisi sekuler dan puisi keagamaan juga tumbuh beriringan.

Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa era Renaisans. Salah seorang ahli sastrawan yang melahirkan prosaprosa jenius pada masa itu bernama Abu ?Uthman ?Umar bin Bahr al- Jahiz (776 M – 869 M) – cucu seorang budak berkulit hitam.

Berkat prosa-prosanya yang gemilang, sastrawan yang mendapatkan pendidikan yang memadai di Basra. Irak itu pun menjadi intelektual terkemuka di zamannya. Karya terkemuka Al-Jahiz adalah Kitab al-Hayawan, atau ?Buku tentang Binatang’ sebuah antologi anekdot-anekdot binatang – yang menyajikan kisah fiksi dan non-fiksi. Selain itu, karya lainnya yang sangat populer adalah Kitab al-Bukhala, ?Book of Misers’, sebuah studi yang jenaka namun mencerahkan tentang psikologi manusia.

Pada pertengahan abad ke-10 M, sebuah genre sastra di dunia Arab kembali muncul. Genre sastra baru itu bernama maqamat Sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al- Zaman al-Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat. heri ruslan

Beragam Bentuk Kususastraan Khas Arab

Puisi
Sebagian besar kesusasteraan Arab sebelum abad ke-20 M didominasi oleh puisi. Bahkan bentuk prosa pun pada periode itu kerap diwarnai dengan puisi atau prosa bersajak. Tema puisi Arab berkisar antara sanjungan dan puji-pujian terhadap seseorang sampai ?menyerang’ orang lain. Selain itu, tema yang kerap kali ditampilkan dalam puisi Arab tentang keagamaan dan mistik hingga puisi yang mengupas tentang seks dan anggur.

Sastra non-fiksi
Di akhir abad ke-9 M, Ibnu Al-Nadim – seorang penjual buku terkemuka di Baghdad – mengoleksi hasil studi sastra Arab. Koleksi karya sastra Arab yang berkembang saat itu dituliskannya dalam sebuah katalog yang berjudul Kitab Al-Fihrist. Salah satu bentuk sastra non-fiksi yang berkembang di era kekhalifahan Abbasiyah berbentuk kompilasi.

Kompilasi itu memuat rangkuman fakta, gagasan, kisah-kisah seperti pelajaran, syair dengan topik tertentu. Selain itu bisa pula merangkum tentang rumah, taman, wanita, orangorang tuna netra, binatang hingga orang kikir. Tiga kompilasi yang termasyhur ditulis oleh Al-Jahiz. Koleksi yang ditulis Al-Jahiz itu terbilang sangat penting bagi siapa saja, mulai dari orang rendahan hingga pengusaha atau orang terhormat.

Biografi dan geografi
Selain menulis biografi Nabi Muhammad SAW, karya sastra Arab lainnya yang berhubungan dengan biografi ditulis oleh Al-Balahudri lewat Kitab Ansab Al-Ashraf atau Buku Geneologi Orang-Orang Terhormat. Selain itu, karya kesusateraan Arab lainnya dalam bentuk biografi ditulis oleh Ibnu Khallikan dalam bentuk kamus biografi. Lalu disempurnakan lagi oleh Al-Safadi lewat Kitab Al-I’tibar yang mengisahkan Usamah bin Munqidh dan pengalamannya saat bertempur dalam Perang Salib.

Karya sastra lainnya yang berkembang di dunia Arab adalah buku tentang perjalanan. Ibnu Khurdadhbih merupakan orang pertama yang menulis buku perjalanannya sebagai seorang pegawai pos di era kekhalifahan. Buku perjalanan lainnya juga ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka lainnya seperti Ibnu Hawqal, Ibnu Fadlan, Al-Istakhri, Al-Muqaddasi, Al-Idrisi dan yang paling terkenal adalah buku perjalanan Ibnu Batutta yang berjudul Ar-Rihla.

Buku harian
Catatan harian Arab pertama kali ditulis sebelum abad ke-10 M. Penulis diari yang paling terkemuka adalah Ibnu Banna di abad ke-11 M. Buku harian yang ditulisnya itu disusun sangat mirip dengan catatan harian modern.

Sastra fiksi
Di dunia Arab, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara al-fusha (bahasa berkualitas) dengan al-ammiyah (bahasa orang biasa). Tak banyak penulis yang menuliskan ceritanya dalam al-ammiyah atau bahasa biasa. Hal itu bertujuan agar karya sastra bisa lebih mendidik ketimbang menghibur.

Kesusasteraan epik
Karya sastra fiksi yang paling populer di dunia Arab adalah kisah Seribu Satu Malam. Inilah salah satu karya fiksi yang paling besar pengaruhnya tehadap budaya Arab maupun non- Arab. Meski begitu, kisah yang sangat populer itu biasa ditempatkan dalam genre sastra epik Arab.

Maqamat
Maqamat merupakan salah satu genre sastra Arab yang muncul pada pertengahan abad ke-10 M. Maqama merupakan sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al-Zaman al- Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat. Sastrawan lainnya yang mengelaborasi genre maqamat adalah Al-Hariri (wafat tahun 1122 M). Dengan menggunakan format yang sama, Al-Hariri menciptakan gaya maqamatnya sendiri.

Syair romantis

Salah satu syair romantis yang paling terkenal dari dunia kesusasteraan Arab adalah Layla dan Majnun. Puisi romantis ini membawa kenangan di era Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-7 M. Kisah yang diceritakan dalam syair itu, konon telah menginspirasi lahirnya kisah percintaan yang tragis yakni Romeo dan Juliet.

Politik Pemerintahan Islam

Posted: June 7, 2012 in opini

A. Pendahuluan

Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum Muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir Muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”. Namun sepeninggal Nabi yang wafat pada tahun 632 M pemikiran politik Islam tidak pernah lepas diwarnai oleh perdebatan tentang sistem pemerintah, khususnya mengenai hubungan khalifah dan Negara. Setelah lebih dari 10 abad lamanya Islam berkuasa, pada akhirnya Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki setelah sempat menjadi dinasti paling terkemuka, namun kemudian mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924. Maka dinasti ini merupakan pemerintaahan Islam yang terakhir. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir Muslim ini menawarkan pemikiran modernism. Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Mereka menginginkan kembali kehidupan masyarakat Muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka mengingankan tidak adanya pemisahan agama dan politik.

B. Sejarah Politik Pemerintahan Islam

Dengan dirumuskannya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah, sebenarnya ini merupakan tonggak utama lahirnya pemerintahan Islam. Menurut Harun Nasution, Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup ini dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan contract social inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah nabi Muhammad bukan hanya mengemban tugas-tugas keagamaan sebagai Rasulullah sekaligus sebagai kepala Negara. Piagam Madinah ini merupakan embrio terlahirnya praktek politik dalam islam. Ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara sepeninggal beliau. Maka sejak saat itulah mulai muncul benih-benih politik yang tidak bisa dielakkan oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan berikutnya, yang dijalankan oleh para sahabat yang empat, yang dikenal dengan sebutan Khulafah al-Rasyidin. Kenyataan praktek perpolitikan semasa pemerintahan dipegang para sahabat ini pada masa-masa awal belum seberapa muncul, namun kenyataan ini semakin tampil nyata pada masa-masa akhir Khulafah al-Rasyidin, sehingga timbul beberapa mazhab politik.

1. Politik Pemerintahan Khulafa Al-rasyidin

Istilah kekhalifahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah. Periode kekhalifahan pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan pujian yang sangat mendalam dalam sejarah, sehingga kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-rasyidin. Namun demikian, pada masa Khulafah al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya. Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode awal politik islam. Pergulatan pemikiran politik Islam juga cukup menonjol dalam mensikapi pemerintahan Umar bin Khattab yang sangat tegas tetapi demokratis. Banyak kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khattab yang berbeda dengan kebijakan Nabi, semisal dalam persoalan pembagian harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal ini tercemin dalam sikap Umar ketika dilantik menjadi Khalifah. Ia mengangkat pedang tinggi, untuk membela Islam, jika ia tidak selaras dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula. Demikian juga dalam masa pemerintahan Khalifah Utsman, pemikiran politik tentang koalisi, aliansi tampaknya sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang sudah cukup tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat dekat Utsman untuk mempengaruhi roda pemerintahan. Dimana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Kondisi yang paling menegangkan, sehingga menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah ketika Ali bin Abu Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan pembunuhan Utsman, menjadikan sebab timbulnya perang saudara di sesama Muslim. Bahkan istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang melawan Ali dalam perang Jamal. Yang mana dikemudian hari menjadi diskursus panjang tentang boleh tidak wanita menjadi pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah kemudian, perbedaan kepentingan aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi sebuah kepentingan politik.

2. Politik Pemerintahan Islam Pasca Khulafah Al-Rasyidin

Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidin diawali sejak terjadinya kekacauan politik antara Ali bin Abi Thalib yang memegang pemarintahan sah pada waktu itu, dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang pada akhirnya berhasil menggusur pemerintahan Ali. Dalam situasi perpolitikan yang kacau balau, hingga mendorong lahirnya beberapa Madzhab politik tersebut, bahkan sampai mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Kematian Ali bin Abi Thalib memungkinkan Mu’wiyyah untuk menampilkan diri, apalagi dengan terbunuhnya anak Ali, Husein bin Ali, dalam perang di padang Karbala, menjadikan posisi Mu’awiyyah semakin kuat. Hal pertama yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyyah adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal yang tak kalah pentingnya, Mu’awiyyah mengadopsi sistem pemerintahan Romawi maupun Persia untuk mendukung Pemerintahannya. Jika dalam masalah pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh Majlis Syuro yang akan memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru. Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu’awiyyah kepada putranya, dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan. Sehingga pada masa pemerintahan Mu’awiyyah lebih menampilkan pemerintahan dinasti dibandingkan dengan khalifah. Bai’ah sebagai sarana penerimaan kepada Khalifah juga dilakukan revisi, di mana bai’ah dilakukan oleh Ahlu al-hal wa al-aqdi yang ditunjuk oleh Mu’awiyyah sendiri untuk membai’ah putranya, tidak harus secara langsung rakyat membai’ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, masa kekhalifahan Ummayah dikenal dengan periode kekhalifahan yang sombing. Sehingga dalam masa pemerintahan kekhalifahan kedua ini, sejarah menyebutnya dengan Kekhalifahan Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama, sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental selama khilafah Ummayah adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan sampai Spanyol, mulai diperkenalkannya sistem mata uang, penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang yang tersendiri yang tidak di bawah kendali langsung khalifah. Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah diganti dengan kekhalifahan Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbas-siyyah didirikan oleh Abdullah bin Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah bin Abbas. Pemerintahan khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang paling lama mencapai 588 tahun. Abdullah bin Saffah dalam membangun memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintahan seperti kekhalifahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan. Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depatermen baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak Hal yang menarik dalam kekhalifahan Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai: Innama anaa sulthaan Allah fi ardhlihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa kekhalifahan bukanlah sebagai pengganti nabi, bukan mandat dari manusia tetapi merupakan mandat dari Alloh. Penafsiran baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun. Sama dengan pemerintahan sebelumnya, pada masa Abbsiyah pemerintahan juga sangat jauh dari yang dilakukan pada masa rasulullah, pemimpin sering kali berpoya-poya tanpa memikirkan masyarakatnya.

C. Pemikiran Islam Klasik

Sejalan dengan perjalanannya, secara garis besar pembahasan pemikiran politik Islam bisa digolongkan kedalam dua kategori besar, yaitu pemikiran politik Islam klasik dan pemikiran Islam modern, dimana dua kategori mempunyai karakteristik yang berbeda.

1. Pemikiran Politik Islam Klasik

Dalam sejarah pertumbuhan peranan negara dalam pemikiran politik Islam klasik menduduki posisi sentral atas keberlangsungan Islam sebagai ajaran yang total dan fundamental. Keberadaan negara dalam batas tertentu adalah sebagai penjamin terlaksana atau tidaknya syari’ah Islam. Pemikiran Islam klasik dalam kaitannya dengan managemen kenegaraan terdapat variasi pendekatan, sentralisme khalifah, instituonalisme, dan organisme. Sentralnya peran Khalifah tercermin dalam pernyataan Ghazali dalam Mukadimmah buku “Al-Muhtazhir”: Pertama, sesungguhnya keberesan agama tidaklah tercapai kalau dunianya tidak beres, sedangkan keberesan dunia tergantung kepada khalifah yang ditaati. Kedua, ketentraman dunia dan keselamatan jiwa dan harta hanyalah dapat diatur dengan adanya khalifah yang ditaati. Dengan alasan ini, Ghazali secara tegas menyatakan syarat menjadi seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama, dimana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah. Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian yang baik, sedang amaliyah yang berkaitan dengan perasaan emphati kepada lingkungan dengan baik. Dimana kemudian terangkum kedalam persyaratan yang empat, yang antara lain yaitu: najah (kemampuan bertindak), kewibawaan, wara’ (jujur), dan ilman (cerdas). Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka ia akan ditempatkan ke dalam level yang lebih rendah wewenangnya dalam kepemimpinan sesuai dengan gelarnya. Khalifah bagi yang memenuhi syarat kesemuanya, Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena dharurat saja, Wali bisy-syaukah, kepala negara yang merampas kekuasaan, dan zus syaukah, sehingga baik buruknya akhlaq seorang kepala Negara menjadi syarat utama dari khalifah. Sedangkan pendekatan institusional banyak dipelopori oleh Imam Mawardi, karya terbesarnya dalam politik terangkum dalam “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah”. Bagi Mawardi yang paling penting dalam pengelolaan negara adalah pemantapan struktur dan fungsi kelembagaan, terutama sekali kelembagaan kepala negara (khalifah) dan yang memilih kepala negara (ahl-ikhtiar). Orang-orang yang tergabung dalam kelembagaan ini adalah orang-orang yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal (profesional) sekaligus orang yang adil). Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral. Pandangan seperti ini memancing kritik bahwa Mawardi dalam merumuskan tulisannya atas dasar apalogi dan legitimasi kekuasaan kekhalifahan, terutama dalam hal pembenaran pergantian khalifah secara turun-temurun jika keadaan terpaksa. Pandangan Mawardi tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Mawardi sebagai sebagai seorang Wazir (Penasehat) dalam masa khalifah al-Qadir dan al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi mendapatkan perintah dari khalifah bagaimana secara teoritis bisa mempertahankan kelangsungan kekhalifahan Sunni yang sedang dalam kemunduran. Pandangan yang ketiga dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah di mana melandaskan pemikirannya bahwa baik-buruknya suatu pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh kualitas yang baik dari kepala negara akan tetapi oleh organ kenegaraan secara luas. Pandangan Ibnu Taimiyyah banyak dirujuk dari bukunya Minhajul Sunnah dan Siyasah Asy-Syar’iyyahDengan pandangan ini Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem kekhalifahan. Runtuh dan hancurnya sistem kekhalifahan pada satu sisi disebabkan karena masalah akhlaq pemimpin yang merosot. Akan tetapi tidak berfungsinya lembaga-lembaga pendukung kekhalifahan yang selamanya ini tampak hanya sebagai pelengkap saja. Ketergantungan yang besar kepada sang Khalifah dalam batas tertentu menghasilkan kinerja kekhalifahan yang sesukanya yang kemudian mengarah kepada dekadensi moral. Runtuhnya kekhalifahan Abbasiyyah sebagai akibat serangan tentara Monghol secara mendadak karena terjadinya pengkhianatan Wazir terhadap kekhalifahan, di mana Khalifah sendiri tidak menyadarinya. Dari pijakan ini Taimiyyah melakukan reformasi terhadap gejala pengagungan Khalifah pada mazhab Sunni maupun Imam Ma’shum pada mazhab Syi’ah sekaligus melakukan kriitikan kepada mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya untuk mengkatrol peran ummah sebagai bagian yang spesfik dari Negara untuk turut menentukan kehidupan bernegara. Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut tampaknya mempunyai elan vital di jamannya. Pemikiran sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya elemen pemimpin negaralah yang mampu mempertahankan negara ancaman kehancuran dari luar. Artinya pemikiran ini sebenarnya tidak menafikan akan arti kelembagaan yang lain. Sedangkan pemikiran organis muncul sebagai bentuk terapi untuk membangun kembali sistem kenegaraan Islam yang sudah tercabik-cabik, dengan menempatkan kekuatan organis sebagai penyangganya.

A.Masalah

Seperti dilaporkan Associated Press, Jumat (11/5), dalam salah satu kursus militer yang digelar Pentagon, Amerika mendoktrin para perwira AS masa depan, bila Islam adalah musuh yang wajib dihancurkan. Karena itu, Amerika mengagendakan bakal menghancurkan tempat-tempat suci umat Islam, yakni Makkah dan Madinah –kota tempat Ka’bah dan makam Nabi Muhammad SAW berada– dengan bom atom. AS bakal melontarkan bom atom ke Makkah dan Madinah laiknya saat mereka membumihanguskan Kota Hirosima dan Nagasaki di Jepang pada Perang Dunia II.

The Guardian melaporkan, pelatihan selama satu tahun yang digelar di Sekolah Gabungan Angkatan Bersenjata AS di Norfolk, negara bagian Virginia itu, merupakan upaya Amerika mendapatkan para prajurit dan pemimpin masa depan yang bakal melakukan perang total terhadap 1,4 miliar umat Islam di seluruh dunia. Ini yang mengesalkan, dalam pelatih itu para perwira diminta tidak mempedulikan berapa banyak nyawa warga sipil Muslim yang bakal melayang.

Instruktur Angkatan Darat AS yang mengajar dalam pelatihan itu, Letkol Mattew Dooley menyatakan, dirinya tidak percaya ada konsep Islam moderat. Dooley mengatakan, agama Islam dan para pengikutnya masuk dalam kategori musuh yang dapat mengancam eksistensi AS. 
“Mereka (Muslim) membenci segala hal tentang kamu (warga Amerika) dan tidak akan mau hidup berdampingan dengan kamu hingga kamu lenyap,” ungkap Dooley dalam sebuah presentasi Juli 2011 lalu, seperti dilaporkan AP.

Dooley juga memprovokasi, teori perang yang ditetapkan dalam Konvensi Jenewa sudah tidak relevan dengan teori perang sesungguhnya. “Ini membuka opsi baru, di mana perang dengan penduduk sipil boleh dilakukan, jika diperlukan. Sebab, sudah ada sejarahnya seperti Tokyo, Hiroshima, dan Nagasaki,” kata Dooley.

Skenario Amerika berikutnya adalah ingin menjadikan Saudi terancam kelaparan dan Islam. Meski awalnya menutup-nutupi pelatihan tersebut, Pentagon akhirnya menghentikan kursus tersebut. AP melaporkan, penghentian kursus tersebut diawali protes seorang perwira yang menilai materi kursus bertentangan dengan pernyataan pemimpin AS tahun lalu, yang mengatakan AS memerangi kelompok fundamentalis Islam, bukan memerangi ajaran Islam.

Pentagon pun memerintahkan penyidikan materi kursus militer tersebut. Akhirnya, para petugas termasuk instruktur kursus, Dooley diskor Pentagon. Tapi mereka tidak dipecat.

Sejatinya, pelatihan militer bagi perwira AS yang menargetkan umat Islam bukan kali ini saja. Tahun lalu terkuat, FBI menghentikan kursus militer serupa. Seperti kata pepatah, serapat-rapatnya bangkai ditutupi, akhirnya tercium juga. Meski Pentagon dan Gedung Putih berusaha menutup rapat niat jahat tersebut, rencana membumihanguskan kaum Muslimim yang ingin hidup di dalam naungan syariat Islam dan menolak sistem yang coba diterapkan AS terungkap juga.

B. Tanggapan

Apa yang telah diberitakan oleh media Amerika tersebut kini telah menjadi buah bibir kaum muslim seluruh dunia, berbagai spekulasipun muncul akibat pemberitaan tersebut. Terlepas dari hal tersebut yang perlu untuk diketahui dan dianalisis lebih jauh, bahwa apa sebenarnya alasan dari rencana pelatihan tersebut. Maksud saya adalah apakah pelatihan tersebut diadakan untuk mengahancurkan islam dikarenakan sentiment agama ataukah ada hal lain yang melatar belakangi rencana itu.

Dewasa ini ditengah perkembangan perekonomian dunia, Negara idustri termasuk amerika sangat membutuhkan Negara penghasil minyak demi keberlangsungan dan keberlanjutan industri mereka. Selain Negara pengasil minyak, Negara industri juga membutuhkan Negara dunia ketiga sebagai konsumen mereka. Terkait rencana Amerika ingin melakukan penyerangan terhadap mekkah sebenarnya bukan hal yang perlu untuk dikagetkan. Berbagai fakta dan sejarah telah memberikan pelajaran terhadap kita  bahwa Negara – Negara islam telah menjadi target.

 Beberapa abad lalu peperangan antara agama nasrani dan islam telah berlangsung. Peperangan ini dikenal dengan perang salib. dasar konflik peperangan tersebutlah bukanlah dikarenakan persoalan agama, melainkan persoalan politik dan perebutan wilayah kekuasaan. Beberapa tahun terakhir di media kerap diberitakan bagaimana Amerika begitu gencarnya memerangi terorisme dan yang dituduh sebagai teroris adalah orang-orang islam. Selain dengan alasan terorisme Amerika juga kerap kali menggunakan alasan HAM, nuklir  dan perdamaian dunia untuk masuk mengintervensi suatu Negara.  Secara sekilas hal tersebut memang tampak bahwa  Amerika tengah memerangi islam, karena hampir seluruh Negara-negara islam yang menjadi sasaran amerika, seperti, afganistan, irak, iran, dan beberapa Negara lainnya. Dan Negara – Negara tersebut merupakan Negara penghasil minyak.

Dari serentetan kejadian dan fakta saya dapat menyimpulkan bahwa apa yang tengah dilakukan Amerika tidak lain dikarenakan alas an ekonomi dan politik. Secara politik internal, pemerintah amerika telah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya dikarenakan kebijakan pemerintah amerika sendiri. Makanya kemudia sangat penting untuk mencarikan musuh bersama demi menyatukan perpecahan yang terjadi di internal mereka, maka islampun menjadi pilihan. islam menjadi pilihan bukanlah suatu kebetulan karena secara ekonomi Negara islam adalah penghasil minyak yang sangat dibutuhkan oleh Amerika selaku Negara industri. Makanya Amerika sangat berperan atas konflik yang terjadi di timur tengah.

Hingga saat ini hubungan antara Amerika dan Arab Saudi masih baik, arab Saudi masih menjadi Negara pengimpor minyak buat Amerika dan menjadi Negara pendukung kebijakan politik Amerika. Namun, perlu diingat bahwa Amerika pernah mendukung Irak untuk melakukan penyerangan ke arab Saudi pada masa saddam husein. Sebenarnya Arab Saudi merupakan Negara prioritas utama Amerika. Karena Arab Saudi merupakan Negara yang didalamnya terdapat simbo masyrakat muslim seluruh dunia, disaat Amerika berhasil menyerang arab Saudi secara frontal maka Negara-negara islam lainnya bukan masalah lagi bagi Amerika. Namun, hingga saat ini yang menjadi pertimbangan terbesar Amerika adalah disaat menyerang arab Saudi, maka Ummat Islam akan bersatu. Sehingga pihannya adalah menyerang Negara islam lainya yang memiliki kekuatan. Baik diserang secara langsung ataupun secara politik. Seperti, Irak, Libya, Afganistan, Mesir, dan kini Iran. Dengan maksud disaat Amerika menyerang Arab Saudi meski ummat islam bersatu maka itu bukan masalah lagi, karena Negara islam yang memiliki kekuatan, baik kekuatan Militer maupun finansial sudah dihancurkan.

Selama ini kita melihat bahwa Amerikalah dalang dari semua ini, padahal sebenarnya Amerika hanyalah alat, ada aktor di belakang Amerika yaitu pemodal, dan para pemodal ini berasal dari satu organisasi yaitu Zinonis. Kupikir keberpihakan amerika ke Israel bukan tanpa alasan dan bagaimana bebasnya Israel membantai masyarakat palestina bukan pula tanpa alasan.  

 Yang dapat saya simpulkan bahwa rencana penyerangan Amerika ke Mekkah didasari kebijakan politik ekonomi mereka meski tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan agama tetap selalu ada. Didalam kitab suci al’qur-an,  QS. Al Baqoroh : 120 yang artinya, “tidak akan senang orang yahudi dan nasrani sampai kalian mengikutinya”.